Kolong atau lobang camuy adalah Istilah dalam bahasa Melayu Bangka Belitung yang artinya danau atau kolam besar yang berasal dari sisa penambangan timah. Metode yang dilakukan dengan menggali hingga ke dalam tanah. Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh PT.Tambang Timah tercatat pada tahun 2003 sebanyak 887 kolong bekas penambangan timah dengan luas 1.712,65 hektar di seluruh wilayah Bangka-Belitung. Konon ceritanya, kata kulong ini tercipta dari masyarakat Melayu dengan teknik penambangan yang dilakukan untuk mendapatkan timah dari dalam tanah. Penggalian tanahnya pun dilakukan dengan menggunakan alat sekop, mesin robin, pipa, karpet dan pacul . Teknik penggalian semacam ini sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Bangka Belitung. Namun, dampak penambangan timah dengan teknik kulong yang sporadis kini dinilai merusak dan tidak ramah lingkungan. Penambangan Timah di Bumi Serumpun Sebalai ini merupakan salah satu sektor perekonomian terbesar yang ada di Kepulauan Bangka Belitung. Mayoritas penduduk Serumpun Sebalai sehari-harinya sebagai mata pencaharian mereka adalah timah. Meskipun ada sektor perekonomian lainnya, seperti sektor pertanian dan sektor kelautan(nelayan). Oleh karena itu, jika timah turun maka perekonomian di Bangka Belitung pun ikut turun.
Apalagi saat ini dilemanya korupsi timah yang terjadi membuat banyaknya mayoritas masyarakat Bangka Belitung merasa bingung dan sulit untuk mencari mata pencaharian mereka. Ditambah dengan adanya kasus (AON) yang terjadi saat ini membuat tidak sedikit masyarakat merasa perekonomian di Bangka Belitung ikut menurun. Kini mereka harus menyadari dan memahami bahwa mereka harus berpikir gimana bertahan hidup ditengah krisisnya perekonomian Bangka Belitung saat ini. Sebenarnya banyak sektor perekonomian yang bisa masyarakat Bangka Belitung lakukan, seperti sektor pertanian dan sektor kelautan. Tetapi yang menjadi pertanyaannya apakah mereka mempunyai lahan atau perahu untuk mereka lakukan sebagai mata pencaharian. Sebagian mayoritas mungkin memilikinya tapi sebagiannya lagi tidak memilikinya. Inilah mengapa masyarakat Bangka Belitung harus melakukan penambangan timah sebagai mata pencaharian mereka sehari-hari meskipun itu dilakukan secara ilegal, karena itu merupakan alternatif atau jalan bagi mereka yang harus mereka lakukan meskipun itu bisa merusak ekosistem dari alam itu sendiri. Kebijakan regulasi pertambangan yang terindikasi menjadi perkara kasus dugaan korupsi saat ini. Salah satu isu yang mencuat adalah pengelolaan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk smelter timah. Rencana eksploitasi Pengelolaan Rencana Kerja dan Anggaran (RKAB) ini menyebabkan tidak terkontrol. Pada tahun 2022, Indonesia mengekspor sekitar 74.408 metrik ton timah, dengan sebagian besar berasal dari PT Timah Tbk dan smelter swasta. Namun, situasi ekspor yang jor-joran telah mencuat, terutama dengan masih adanya praktik ilegal dalam penambangan dan perdagangan timah di kalangan kolektor atau pengepul timah ilegal di Bangka Belitung. Pemerintah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap RKAB perusahaan smelter timah di Indonesia, khususnya Kepulauan Bangka Belitung. Ini adalah langkah pertama yang perlu diambil untuk mengendalikan eksploitasi yang tidak terkendali dan memastikan pertambangan timah di di Bangka Belitung berjalan secara berkelanjutan. Evaluasi ini harus mencakup ketatnya pengawasan terhadap penambangan ilegal dan perdagangan timah di luar regulasi yang berlaku. Data menunjukkan bahwa sebagian besar ekspor timah (ingot/balok) berasal dari smelter swasta, dan semakin banyak perusahaan dengan izin pengelolaan yang relatif kecil terlibat dalam bisnis ekspor ini. Pertanyaannya adalah apakah izin-izin ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan yang benar dan apakah mereka mematuhi tahapan eksplorasi yang benar. Perluasan izin perusahaan smelter timah yang relatif kecil harus diperiksa lebih dalam. Selain itu, kasus ini menyoroti kebutuhan akan perbaikan dalam tata kelola industri timah dalam negeri. Ada potensi besar kerugian negara akibat pertambangan tanpa izin (PETI), dan hal ini harus menjadi perhatian serius. Aparat Penegak Hukum (APH) juga harus aktif dalam menindak para pelaku PETI ini.
Kasus ini memberikan pelajaran berharga bagi industri pertambangan timah di Bangka Belitung. Ini adalah saat yang tepat bagi pemerintah, perusahaan pertambangan, dan masyarakat sipil untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan bisnis yang lebih transparan, berkelanjutan, dan adil. Perubahan harus dimulai dari tata kelola yang lebih baik, pengawasan yang ketat, dan komitmen bersama untuk menjaga kekayaan alam negara ini sambil menjaga kepentingan masyarakat dan bisnis. Hanya dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat memastikan bahwa industri pertambangan timah Bangka tetap berjalan dengan baik dalam jangka panjang.
BIBLIOGRAPHY
https://www.kompas.com
https://www.detik.com
https://koran.tempo.co
Komentar
Posting Komentar