Situasi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China, diperkirakan akan membuat tekanan terhadap perekonomian tanah air. Hal ini yang terus diwaspadai oleh para pelaku ekonomi saat ini. Kepala Ekonom Bank Mandiri (BMRI) Andry Asmoro menjelaskan, perlambatan ekonomi China bukan merupakan sesuatu yang baru, bahkan jauh sebelum pandemi terjadi. Ekspektasi rata-rata pertumbuhan ekonomi China akan Indonesia dari sisi perdagangan internasional, juga tentu akan terpengaruh dari adanya situasi perlambatan ekonomi di China. China memiliki peranan yang sangat besar bagi perdagangan Indonesia. pada kisaran 5% hingga 6%.Saat bicara ekonomi China, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor China, terutama Amerika Serikat (AS) maupun Eropa.
Indonesia dari sisi perdagangan internasional, juga tentu akan terpengaruh dari adanya situasi perlambatan ekonomi di China. China memiliki peranan yang sangat besar bagi perdagangan Indonesia. Sementara itu, merujuk data perdagangan China, impor di China 32% diantaranya berasal dari Indonesia. Sehingga ke depan, diperkirakan ekspor ke China akan relatif melambat. Situasi yang sedang tidak baik-baik saja di China dan AS, juga kata Kepala Ekonom BCA David Sumual akan membuat nilai surplus perdagangan Indonesia akan menyusut.
Surplus perdagangan berdampak positif dalam meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, menyusutnya surplus perdagangan di tanah air bisa melemahkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) surplus pada neraca perdagangan Indonesia pun mulai terlihat adanya penurunan nilai. Surplus neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2023 sebesar US$ 436,5 juta atau turun 88,9% secara bulanan serta melemah 84,9% secara tahunan. Kendati demikian, anjloknya surplus pada Mei 2023 dipengaruhi oleh pertumbuhan impor yang tinggi ketimbang ekspor. BPS mencatat lonjakan impor pada Mei 2023 didorong oleh naiknya pembelian minyak mentah dari luar negeri.
Bank Indonesia (BI) pun turut mewaspadai situasi perekonomian di AS dan China saat ini. Pada rapat dewan gubernur (RDG) BI bulan Juni 2023, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75%. Keputusan tersebut untuk memastikan laju inflasi terkendali dan memastikan stabilitas rupiah, sebab ke depan ketidakpastian ekonomi global masih akan tinggi, terutama yang bersumber dari AS dan China. Tekanan inflasi Amerika Serikat (AS) masih tinggi sehingga ada kemungkinan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan mengerek suku bunga sebesar 25 bps pada Juli. Seperti halnya The Fed, bank sentral Eropa (ECB) juga diperkirakan masih akan hawkish. Sebaliknya, beberapa bank sentral malah memilih kebijakan longgar seperti Jepang dan China. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi China di bawah ekspektasi banyak pihak. Padahal, Tiongkok adalah sumber utama pertumbuhan ekonomi Asia, termasuk Indonesia.
Bank sentral China pada Selasa (20/6/2023) memangkas suku bunga pinjaman untuk memompa ekonomi. Bank sentral Jepang (BoJ) juga lebih memilih untuk mempertahankan suku bunga ultra rendahnya pekan lalu untuk mendukung ekonomi.
Referensi : https://www.cnbcindonesia.com
Komentar
Posting Komentar