Perubahan Nilai Tukar Menjadi Salah Satu Penyebab Munculnya Model Mikrostruktur yang Berfokus Pada Bid-ask Spread
Sejak adanya krisis di tahun 1997, Indonesia mulai menerapkan rezim mengambang bebas, dimana nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan yang terjadi di pasar (Syarifuddin, 2015). Jika terjadi kelebihan penawaran mata uang asing, maka nilai tukar domestik akan terapresiasi. Sebaliknya, jika terjadi kelebihan permintaan mata uang asing, maka nilai tukar domestik terdepresiasi.
Penerapan rezim nilai tukar mengambang memberikan tantangan, khususnya bagi negara berkembang karena tingginya risiko dalam pengaturan stabilitas nilai tukar (Rahman, 2018). Adanya perubahan nilai tukar yang tidak stabil dan sangat tinggi volatilitas-nya diyakini akan mengganggu kestabilan kegiatan ekspor impor dan terjadinya modal internasional keluar dari wilayah negara domestik (Schnabl, 2008). Hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan guncangan pada pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan ketidakstabilan kinerja sektor riil domestik, baik dari sisi perdagangan, produksi, dan stabilitas harga domestik.
Selain itu, guncangan pada nilai tukar juga memberikan efek lebih jauh pada pasar tenaga kerja dan aset. Efek yang kompleks dari volatilitas nilai tukar tersebut dapat menjadi penghambat program percepatan pemulihan ekonomi. Beberapa penelitian telah membuktikan secara empiris ditemukannya pengaruh buruk ketidakstabilan nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi, yang menunjukkan bahwa makin bergejolak nilai tukar rupiah maka pertumbuhan ekonominya akan makin rendah (Olamideet al., 2022; Utomo & Saadah, 2022; Morinaet al., 2020).
Dengan adanya peran signifikan nilai tukar terhadap perekonomian secara agregat, menjadikan otoritas moneter maupun pelaku pasar perlu memberikan upaya bersama dalam menjaga stabilitas nilai tukar agar iklim investasi terjaga (Syarifuddin, 2015). Diperlukan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pergerakan nilai tukar dalam upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar tersebut (Sugenget al., 2010).
Saat ini, teori mengenai faktor penentu nilai tukar terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sebelumnya, yang menjadi fokus pergerakan nilai tukar adalah kondisi makro ekonomi. Tetapi sejak akhir 1990-an aspek mikrostruktur mulai menjadi perhatian. Aspek mikrostruktur tersebut menjadi penentu nilai tukar melalui proses dan hasil pertukaran mata uang di bawah aturan perdagangan valuta asing dimana kondisi mikro dari kegiatan transaksi tersebut berbeda-beda (Moosa & Bhatti, 2009: 292-323).
Lebih spesifik, aspek mikrostruktur terkait dengan peran investor dalam menyerap informasi mengenai nilai tukar dan menginterpretasikannya pada kondisi saat ini dan masa depan. Analisis mikrostruktur dianggap penting dalam menjelaskan pergerakan nilai tukar karena pendekatan tersebut mewakili penyimpangan radikal dari strategi pemodelan tradisional yang memperlakukan nilai tukar mata uang asing sebagai harga relatif makro ekonomi (Gerebenet al., 2015; Frankel & Rose, 1994).
Variabel mikrostruktur yang dianggap penting adalah order flow dan bid-ask spread (Karoui & Kammoun, 2021; Moosa & Bhatti, 2009: 292-323). Osleret al. (2016) menambahkan bahwa tantangan awal dalam pembentukan model mikrostruktur adalah berfokus pada bid-ask spread. Spread mencerminkan banyak faktor seperti biaya transaksi, keuntungan pembuat pasar, dan kompensasi terhadap risiko bagi pembuat pasar (Mulleret al., 1990).
Salah satu sebab mulai munculnya model mikrostruktur adalah karena mulai tersedianya data rinci mengenai transaksi valuta asing yang tersedia bagi penelitian untuk melakukan studi empiris menggunakan informasi rinci mengenai aktivitas perdagangan tersebut (Vitale, 2006). Faktor lain yang menjadi penyebab munculnya pendekatan mikrostruktur adalah bahwa secara empiris banyak model struktural yang berdasar pada fundamental makro ekonomi mengalami kesulitan dalam menjelaskan hubungan antara makro ekonomi dengan variasi dari nilai tukar (Karoui & Kammoun, 2021). Empiris pada satu negara dengan negara lainnya dapat memberikan hasil yang berbeda, dimana tidak terdapat hubungan antara keduanya. Obstfeld & Rogoff (2000) menyatakan hal tersebut sebagai tantangan berat dalam macro puzzle internasional.
Beberapa penelitian mulai menutup gap puzzle tersebut dengan membuktikan secara empiris pentingnya aspek mikrostruktural terhadap pergerakan nilai tukar (Della Corteet al., 2013; Kleinbrod & Li, 2017; Daniel, 2019). Meskipun mikrostruktur merupakan model yang penting, tetapi fundamental makro ekonomi juga tetap menentukan nilai tukar (Gerebenet al., 2005). Oleh karena itu, penelitian lain juga menggabungkan dua model penentu nilai tukar, yaitu mikrostruktur dan makro ekonomi, yang disebut sebagai model hybrid dan membuktikan bahwa model tersebut dapat menjelaskan volatilitas nilai tukar dengan lebih akurat (Evans & Lyons, 2000; Rime, 2010; Chinn & Moore, 2011; Bucuane, 2020).
Selanjutnya, penelitian makin berkembang pula dengan menentukan periode pengaruh mikrostruktur terhadap nilai tukar, yaitu apakah terjadi dalam jangka pendek atau kah terjadi pula dalam jangka yang panjang (Daniel, 2019; Karoui&Kammoun, 2021; Aftabet al., 2021).
Namun, penelitian di Indonesia terkait mikrostruktur maupun model hybrid masih sangat terbatas. Penelitian Ajiet al.(2016), Hutabaratet al. (2017), dan Rahman (2018) merupakan beberapa penelitian yang berfokus pada nilai tukar rupiah dengan model mikrostruktur. Berdasarkan latar belakang yang menggambarkan makin pentingnya nilai tukar dalam kestabilan ekonomi suatu negara, peneliti termotivasi untuk berkontribusi dalam menambah literatur penentuan nilai tukar, terutama di Indonesia, dengan model gabungan (hybrid) antara mikrostruktur dan makro ekonomi.
Selain itu, mengingat masih terbatasnya penelitian di Indonesia mengenai model hybrid, studi ini memberikan kebaruan dengan menyediakan hasil empiris periode terkini mengenai penggunaan model hybrid dalam menjelaskan pergerakan nilai tukar. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat berguna bagi otoritas moneter dan pemerintah untuk menentukan arah kebijakan moneter, serta bagi para investor dalam melakukan transaksi valuta asing rupiah.
Secara spesifik, pertanyaan penelitian ini adalah apakah model hybrid antara mikrostruktur dan fundamental makro ekonomi dapat menjelaskan pergerakan nilai tukar dalam jangka pendek dan panjang. Dengan menggunakan metode ekonometrik, yaitu autoregressive distributed lag (ARDL), temuan utama dari nelitian ini menunjukkan bahwa variabel mikrostruktur dan makro ekonomi memiliki pengaruh jangka panjang dan jangka pendek terhadap pergerakan nilai tukar. Dalam model hybrid, variabel mikrostruktur dan makro ekonomi secara statistik signifikan dalam menjelaskan pergerakan nilai tukar. Sebaliknya, model tanpa melibatkan variabel mikrostruktur dapat menyebabkan macro-puzzle karena secara statistik terbukti bahwa makro ekonomi belum dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar di Indonesia.
Sumber:
https://jurnal.isei.or.id/index.php/isei/article/view/231/68
Komentar
Posting Komentar