Mata uang digital bank sentral atau CBDC adalah topik yang menarik bagi banyak orang di seluruh dunia. Banyak individu dan organisasi telah mengantisipasi penerapan CBDC, yang akan membantu memfasilitasi transformasi digital di seluruh dunia.
Tidak dapat disangkal bahwa orang menggunakan cryptocurrency seperti bitcoin untuk saling membayar; oleh karena itu menjaga stabilitas sistem moneter sangatlah sulit saat menggunakan aset kripto sebagai mata uang. Selain itu, Bitcoin dan aset kripto lainnya menimbulkan risiko yang signifikan terhadap lingkungan, keselamatan konsumen, dan integritas keuangan nasional. Ini karena uang fiat—yang dikeluarkan oleh bank sentral—biasanya digunakan sebagai pengganti mata uang kripto.
Otoritas Bank Indonesia tampaknya masih banyak meneliti dan menilai. Tentu saja, mereka harus mempertimbangkan banyak hal sebelum membuat desain, model, atau platform uang digital baru untuk digunakan. Ini termasuk bagaimana rupiah digital dapat diintegrasikan dengan sistem pembayaran digital dan membuat platform digital.
Bank Sentral Indonesia mempertimbangkan risiko seperti pelanggaran informasi dan serangan dunia maya saat membuat rupiah digital. Hal ini membuat mereka membuat konsep untuk mata uang digital alih-alih menerapkannya tahun ini.
Pembahasan CBDC yang dilakukan pada masa Presidensi G20 Indonesia diharapkan dapat menghasilkan langkah maju dan menghasilkan kesepakatan bersama paling tidak terkait dengan prinsip pembangunan, desain platform yang digunakan, serta integrasi CBDC lintas batas oleh masing-masing bank sentral.
Mendengar berita bahwa BI akan mengeluarkan CBDC ( Central Bank Digital Currency ) atau mata uang digital dengan sebutan E-Rupiah atau digital Rupiah membuat saya berfikir dengan basisnya cetak uang berbasis pinjaman. Menurut saya sudah benar jika negara mempunyai dua sistem keuangan dengan mata uang fiat fisik yang saat ini beredar dan digital rupiah, pertama minusnya APBN pemerintah harus memintakan BI berhutang kepada negara bukan sebaliknya jadi berhutangnya pada negara bukan kepada BI, BI lah yang akan menerbitkan surat hutang. Jadi, misalnya digital rupiah dicetak sebanyak APBN dan kredit pinjaman pihak swasta nasional di bank nasional. Jadi bank nasional akan berhutang pada BI, kemudia BI menerbitkan surat hutang kepada negara dan negara yang akan mencetak uangnya. Semuanya tanpa bunga hanya biaya uang atau cost of money setidaknya 1% per tahun, agar bank nasional ambil sebagai jasa penyimpanan dan administrasi kemudian hal tersebut dibebankan kepada kreditur termasuk pemerintah. Maka Indonesia dengan digital rupiahnya akan menjadi sarana percepatan ekonomi, bisa saja PDB naik 50% setiap tahun sehingga di tahun 2030 GDP per kapita bisa mencapai $25.000 ( Dua Puluh Lima Ribu Dolar ) dan di tahun 2045 bisa mencapai $30.000 ( Tiga Puluh Ribu Dolar ) diatas Amerika dan Tiongkok.
Namun hal tersebut hanya sekedar opini belaka dengan asumsi keberanian dan keadaan yang mendukung. Tetapi seperti halnya mimpi, beropini berdasarkan harapan pada negara Indonesia agar dapat maju kedepannya.
Sumber:
https://www.bi.go.id/id/rupiah/digital-rupiah/default.aspx
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20221212073255-37-395912/beda-rupiah-digital-dengan-emoney-gopay-dan-ovo
https://www.kompas.com/tren/read/2022/12/09/103000265/bi-akan-rilis-rupiah-digital-apa-bedanya-dengan-uang-elektronik-?page=all
Komentar
Posting Komentar