Kehidupan di kampus sering kali dianggap sebagai masa penuh pembelajaran, eksplorasi, dan pengembangan diri. Namun, di balik semua itu, ada kenyataan yang jarang dibicarakan: tekanan akademik yang berlebihan dan dampaknya terhadap kesehatan mental mahasiswa. Tugas yang menumpuk, tuntutan nilai tinggi, ekspektasi keluarga, serta persaingan di lingkungan kampus menciptakan tekanan yang dapat berujung pada stres kronis, kecemasan, depresi, hingga burnout. Survei nasional American College Health Association (ACHA) pada Musim Semi 2023 terhadap lebih dari 55.000 mahasiswa sarjana mengungkapkan bahwa sekitar 76% mengalami tekanan psikologis sedang hingga serius hingga menyebabkan mahasiswa kesulitan menjalani kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, tekanan akademik menjadi salah satu faktor utama gangguan kesehatan mental mahasiswa. Sayangnya, stigma terhadap isu ini masih kuat, membuat banyak mahasiswa enggan mencari bantuan profesional. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan hanya individu yang terdampak, tetapi juga sistem pendidikan secara keseluruhan.
Untuk menangani isu ini, perlu ada aksi nyata yang melibatkan mahasiswa dan institusi pendidikan. Salah satu langkah penting adalah mengadakan kampanye kesadaran tentang kesehatan mental. Diskusi terbuka, seminar, serta kampanye melalui media sosial dapat membantu meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pentingnya menjaga kesehatan mental serta menghilangkan stigma terhadap mereka yang membutuhkan bantuan psikologis. Selain itu, kampus harus lebih proaktif dalam menyediakan layanan konseling yang mudah diakses dan gratis. Saat ini, banyak mahasiswa yang membutuhkan bantuan psikologis tetapi terkendala biaya atau takut dianggap lemah. Jika layanan ini diperkuat dengan tenaga profesional yang memadai, mahasiswa akan lebih berani mencari pertolongan saat menghadapi tekanan akademik yang berat. Tidak hanya itu, sistem akademik juga perlu dievaluasi. Kampus harus mempertimbangkan kebijakan yang lebih manusiawi, seperti fleksibilitas tenggat waktu, sistem ujian yang lebih adaptif, serta pemberian cuti akademik tanpa penalti bagi mahasiswa yang mengalami gangguan kesehatan mental. Reformasi ini dapat membantu menciptakan lingkungan akademik yang lebih sehat dan mendukung kesejahteraan mahasiswa.
Di sisi lain, mahasiswa juga perlu memiliki strategi untuk menjaga kesehatan mental mereka. Manajemen waktu yang efektif dapat membantu mengurangi beban kerja yang berlebihan. Selain itu, menerapkan teknik relaksasi seperti meditasi, olahraga, atau menjalani hobi dapat membantu menurunkan tingkat stres. Yang tidak kalah penting adalah menghindari budaya kompetisi yang tidak sehat. Fokus pada pengembangan diri daripada terus-menerus membandingkan pencapaian dengan orang lain dapat membantu mahasiswa tetap termotivasi tanpa mengalami tekanan berlebihan. Jika tekanan akademik sudah terlalu berat, mahasiswa harus berani mencari bantuan, baik dari teman, keluarga, maupun tenaga profesional. Menyadari bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik adalah langkah awal untuk mendapatkan bantuan yang tepat.
Kesehatan mental mahasiswa bukanlah isu sepele. Jika tidak ditangani dengan baik, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga akan memengaruhi kualitas pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, kampus harus mulai memberikan perhatian lebih terhadap kesejahteraan mental mahasiswa. Dengan aksi kolektif, reformasi kebijakan akademik, serta strategi pengelolaan stres yang tepat, mahasiswa dapat menghadapi tantangan akademik tanpa harus mengorbankan kesehatan mental mereka. Sudah saatnya kita tidak hanya berbicara soal nilai dan prestasi akademik, tetapi juga memastikan bahwa mahasiswa dapat berkembang tanpa tekanan yang merusak kesejahteraan mereka.
Referensi
https://www.researchgate.net/publication/46556128_Mental_Health_and_Academic_Success_in_College
https://www.rri.co.id/kesehatan/1126041/budaya-kesehatan-mental-di-kampus-apakah-kita-sudah-cukup-peduli?page=2
Komentar
Posting Komentar