Langsung ke konten utama

Ancaman Krisis di Balik Tumpukan Utang Negara saat Pandemi COVID-19

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengkhawatirkan penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang yang terus menumpuk selama pandemi covid-19. Pasalnya, peningkatan utang dan biaya bunga sudah melampaui pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. Hasil pemeriksaan BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020 menunjukkan kerentanan utang Indonesia juga sudah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF).

Selain itu, rasio utang dan pembayaran bunga utang terhadap penerimaan pun jauh melampaui batas yang direkomendasikan IMF yakni 90-50 persen dan 7-10 persen. Tercatat, rasio utang Indonesia terhadap penerimaan berada di angka 369 persen, sedangkan rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan berada di angka 19,06 persen. Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan rapor merah soal pengelolaan utang yang disampaikan BPK sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Terlebih, menurutnya, utang yang harus ditanggung pemerintah bukan hanya Rp6.500-an triliun seperti tertuang dalam laporan APBN kita, melainkan juga utang BUMN yang dibebani tugas pembangunan infrastruktur, Sebab, kegagalan atau kebangkrutan perusahaan-perusahaan tersebut juga harus ditanggung oleh APBN. "Jumlahnya (utang BUMN) lebih dari Rp2 ribu triliun. Jadi total beban itu adalah Rp8.500 triliun, Jika beban pokok dan bunga utang tersebut tak dapat diimbangi dengan penerimaan yang besar, maka APBN bisa lumpuh dan memicu krisis ekonomi.

"Kalau dulu dipicu oleh nilai tukar, maka sekarang dipicu oleh APBN yang sekarat dan krisis pandemi karena penanganan yang salah kaprah sejak awal. Jadi, gabungan dari kedua faktor itu potensial memicu krisis ekonomi," tuturnya. Menurut badan keungan Negara, jalan keluar yang bisa diambil pemerintah adalah mengatasi pandemi sesegera mungkin agar aktivitas ekonomi kembali normal. Kemudian, mengembalikan kebijakan defisit APBN ke masa sebelum pandemi yakni di bawah 3 persen dengan mengurangi pembiayaan melalui utang. Selanjutnya, pemerintah juga perlu memacu pertumbuhan ekonomi dengan strategi daya saing ekspor. "Sehingga PDB terus naik dan otomatis rasio defisit terus turun dan penghasilan serta rasio pajak meningkat. Tetapi sekarang pandemi masih sulit sehingga perlu mungkin beberapa tahun lagi. Sekarang membuat persiapan strategi ini dengan mengendalikan covid dahulu, Sementara itu, Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo berpandangan kurang tepat jika BPK menggunakan standar aman IMF terkait rasio utang dalam kondisi saat ini.

Sebab, pandemi covid-19 membuat hampir semua negara mengambil kebijakan countercyclical untuk memberi stimulus dalam menjaga ekonominya. Ini sudah pasti akan berimplikasi ke pelebaran defisit dan peningkatan rasio utang. "Hampir tidak ada negara yang rasio utangnya di kisaran itu (standar IMF). Misalnya saja di akhir 2020 Indonesia (39,39 persen), Filipina (48,9 persen), Thailand (50,4 persen), China (61,7 persen), Korea Selatan (48,4 persen), dan Amerika Serikat (131,2 persen)," ujarnya. Ia juga menegaskan pemerintah telah berupaya menekan biaya utang serta mengelola pembiayaan APBN pada kondisi aman. Misalnya, melalui kebijakan berbagi beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia (BI) untuk membiayai penanganan pandemi. "Di mana BI ikut menanggung biaya bunga utang,"

Kemudian, dengan kebijakan konversi pinjaman luar negeri untuk mengurangi risiko dsn beban bunga ke depan. Caranya, dengan mengubah pinjaman dalam dolar AS dan suku bunga mengambang (basis LIBOR) menjadi pinjaman dalam Euro dan Yen dengan suku bunga tetap mendekati 0 persen. Ada pula strategi pengelolaan pembiayaan melalui upaya menurunkan yield di tahun lalu. Hal ini dapat menekan yield SBN sekitar 250 bps mencapai 5,85 persen di akhir 2020 (turun 17 persen ytd). "Lembaga pemeringkat kredit internasional juga mengapresiasi pengelolaan ekonomi dan pembiayaan Indonesia selama ini dengan mempertahankan peringkat Indonesia, terutama di masa pandemi, di mana sebagian besar (124) negara mengalami downgrade serta adanya negara yang sudah meminta pengampunan utang melalui skema Paris Club.


https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210624062658-532-658631/ancaman-krisis-di-balik-tumpukan-utang-negara-saat-pandemi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HIMIKO  (Himpunan Mahasiswa Ekonomi) Himpunan Mahasiswa Ekonomi (HIMIKO) adalah wadah organisasi bagi mahasiswa Program Studi Ekonomi untuk mengembangkan diri, menambah relasi dan tentunya memajukan Prodi Ekonomi. HIMIKO terbentuk pada tanggal 12 November 2016. Himpunan Mahasiswa Ekonomi terbentuk pada saat mabim angkatan pertama Program Studi Ekonomi 2016. HIMIKO memiliki arti logo berbentuk 12 gir yang melambangkan tanggal terbentuknya HIMIKO. HIMIKO telah menjadi anggota IMEPI (Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Indonesia) sejak tahun 2017. Tahun 2019 HIMIKO terpilih menjadi Himpunan Tersosmed di Acara ORMAWA AWARD yang diselenggarakan oleh BEM U. HIMIKO memiliki Visi dan Misi sebagai berikut: Visi : “Meningkatkan solidaritas antar generasi ilmu ekonomi dan menjadikan HIMIKO himpunan yang dikenal di UBB maupun diluar UBB.” Misi : 1. Menjalin kerjasama antar organisasi di UBB maupun diluar UBB. 2. Meningkatkan keakraban antar kepengurusan sehingga menjalankan proke...

Kapitalisasi Pendidikan Terhadap Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan di Indonesia

Kapitalisasi pendidikan di Indonesia telah menjadi isu yang sangat relevan dan kompleks, terutama dalam konteks kenaikan biaya pendidikan yang signifikan. Kapitalisasi pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses di mana pendidikan dipengaruhi oleh unsur-unsur ekonomi dan budaya kapitalis, mengarah pada perbedaan kualitas pendidikan yang didapatkan oleh masyarakat berbeda status sosial dan ekonomi. Kenaikan biaya pendidikan, seperti yang dikenal sebagai Uang Kuliah Tunggal (UKT), dapat memiliki dampak yang signifikan pada aksesibilitas pendidikan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam beberapa kasus, kenaikan biaya pendidikan dapat memperburuk situasi kesulitan finansial bagi mahasiswa berpenghasilan rendah, menghambat akses mereka ke pendidikan tinggi, dan bahkan menghentikan studi mereka karena tidak mampu membayar biaya yang semakin tinggi.           Kapitalisasi pendidikan juga dapat berdampak pada kualitas pendidikan yang diterima. Dalam b...

Pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas pendukung pembangunan

Pendidikan dan kesehatan merupakan dua pilar fundamental yang saling berkaitan erat dalam pembangunan suatu bangsa. Keduanya bukan hanya sekadar prioritas, melainkan untuk mencapai kemajuan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Kajian ini akan membahas isu-isu krusial terkait pendidikan dan kesehatan sebagai pendukung utama pembangunan, serta menawarkan beberapa rekomendasi kebijakan. Pendidikan sebagai Investasi untuk Masa Depan ,yang mencakup beberapa isi utama nya Kualitas Pendidikan: Rendahnya kualitas pendidikan, ditandai dengan rendahnya kompetensi guru, kurangnya akses terhadap teknologi pendidikan, dan kurikulum yang kurang relevan dengan kebutuhan pasar kerja, menjadi kendala utama. Hal ini menghasilkan lulusan yang kurang siap bersaing di era globalisasi.  Akses Pendidikan: Ketimpangan akses pendidikan masih menjadi masalah serius, terutama di daerah terpencil, miskin, dan tertinggal. Faktor ekonomi, geografis, dan gender turut memperparah kesenjangan ini.Kurikulum dan Pemb...